Minggu, 19 April 2009

pernikahan

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ
قال الله تعالى في القران العظيم . يا أيهاالذين امنوا اتقو الله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون.
Hadirin yang terhormat dan mempelai berdua yang berbahagia.
Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyari’atkan.
Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam dan Hawa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman :
uqèdur “Ï%©!$# t,n=y{ z`ÏB Ïä!$yJø9$# #ZŽ³o0 ¼ã&s#yèyfsù $Y7¡nS #\ôgϹur 3 tb%x.ur y7•/u‘ #\ƒÏ‰s% ÇÎÍÈ
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.”

Pernikahan berhubungan erat dengan agama dan spiritualitas, karena nikah dipandang sebagai nikmat dan perintah Allah serta sunnah Nabi Muhammad SAW kepada manusia. Pernikahan yang didasarkan atas kemakrufan, kerukunan, kasih sayang, keseimbanhan, keadilan, serta adab dan akhlak yang baik, akan mendatangkan faedah yang berhubungan dengan perolehan anak, pengendalian nafsu syahwat, pengaturan hidup rumah tangga, pengalaman spiritual dan perjuangan jiwa dalam hidup. Sifat pernikahan yang demikian, memberikan kesempatan kepada orang untuk menyerasikan diri, berjinak-jinakan hati, dan mendekatkan diri kepada Allah, serta mendorong jiwa untuk merasa tentram (takin al-nafs), senang (tarwih al-nafs), dan bahagia dalam kehidupan spiritualitasnya.
Apabila ditinjau dari kesehatan mental, maka adab pernikahan berfungsi sebagai pengobatan, pencegahan, dan pembinaan. Dalam perawatan jiwa, pernikahan sebagai salah satu bentuk hubungan manusiawi yang baik yang dapat membantu orang dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan pernikahan, tidak saja dapat memenuhi kebutuhannya. Dengan pernikahan, tidak saja dapat dipenuhi kebutuhan seksual dan perolehan keturunan, akan tetapi juga membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya yang lain, seperti keselamatan, kasih sayang, harga diri, kepercayaan diri, rasa hormat, cinta dan rasa saling memiliki serta kejujuran.
Dengan demikian, pernikahan dapat membantu manusia dalam mewujudkan dirinya dan memberikan ketentraman jiwa dalam memenuhi kebutuhannya, serta membentuk manusia yang baik dan memiliki ketahanan mentak sebagai tujuan dalam perawatan kejiwaan.
Apabila pernikahan merupakan hubungan manusiawi yang baik, maka dengan menegakkan adab pernikahan dalam hidup berumah tangga, dapat menjalin hubungan manusiawi yang baik dalam keluarganya. Dengan demikian, orang dapat memperoleh kebutuhan jiwa dan perwujudan dirinya, karena ia merasa kebutuhan pokok jiwanya dapat dipenuhi dengan hidup berkeluarga. Apabila orang menikah dan dapat memenuhi persyaratan, adab, dan sunnah-sunnahnya, serta dapat merasakan pernikahan sebagai pembentukan hubungan manusiawi yang baik dan ibadat kepada Allah, maka orang dapat menjadikan pernikahan sebagai pengobatan gangguan jiwanya.
Kalau dengan pernikahan dapat dibentuk hubungan manusiawi yang baik dan diperoleh ketenangan jiwa, maka pada saat orang menikah dengan menjaga dan memenuhi adab-adab dan sunnah-sunnah pernikahan, maka pada saat itu pula ia sudah mulai membina hubungan manusiawi yang baik dan memperoleh ketentraman jiwa. Bila orang mampu menjaga dan memenuhinya sepanjang kehidupan, maka akan terjauhlah ia dari pengaruh hubungan yang buruk dan dari penumpukan perasaan yang menekan. Dengan demikian, orang dapat dicegah dan tahan dari penyebab gangguan jiwa.
Dalam fungsi pembinaan, setiap orang menjaga dan memenuhi adab-adab dan sunnah-sunnah pernikahan, maka pada saat itu pula ia mulai membina dirinya dengan adab dan akhlak yang baik serta dengan ketentraman, kesenangan, dan kegembiraan. Semakin sempurna orang dalam menjaga dan memenuhi adab dan sunnah-sunnah pernikahan, semakin bebaslah ia dari adab dan akhlak yang buruk, dan semakin tentram, senang, dan bahagialah jiwanya, serta semakin kuatlah spiritual dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.[1]
Di dalam surat An-Nur ayat 32, Allah memerintahkan manusia untuk menyegerakan manusia, apabila sudah mampu dan masih sendiri.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
Terhadap surat An-Nur ayat 32 di atas, sebagian besar fuqaha berpendapat bahwa, untuk menikahkan dalam ayat ini menunjukkan sunnah, artinya kaum muslimin harus saling memperhatikan satu sama lain sehingga di dalam lingkungan komunitas mereka tidak ada seseorang pri ataupun wanita yang tidak mau menikah. Sebaiknya pula anggota keluarga, tetangga, dan teman sejawatmemperhatikan mengenai hal ini sebaik-baiknya. Adapun orang yang tidak mampu untuk menikah ataupun tidak memiliki kerabat dan sahabat, Negara wajib membantunya untuk menikah. Tidak seharusnya kefakiran individu menjadi penghalang insan manusia untuk merajut tali kasih dalam buah perkawinan.
Pernikahan dalam Islam mengandung makna dan petunjuk bagi setiap muslim yang ingin merasakan indahnya sebuah pernikahan. Secara fitrah, pernikahan dalam Islam adalah salah satu bentuk tanggung jawab terhadap pembentukan dan pembinaan keluarga. Di samping itu, pernikahan itu memiliki banyak faedah dan manfaat dalam setiap aspek kehidupan, antara lain :[2]
1. Pernikahan dapat memelihara kehidupan insani yang penuh makna dan kebahagiaan. Seperti yang tersirat dalam surat An-Nisaa’ ayat 1
$pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u‘ “Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oy‰Ïnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry— £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í‘ #ZŽÏWx. [ä!$¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# “Ï%©!$# tbqä9uä!$¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnö‘F{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3ø‹n=tæ $Y6ŠÏ%u‘ ÇÊÈ
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

2. Pernikahan dapat memelihara keturunan. Setiap muslim harus mengetahui siapa leluhur mereka, karena itudapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
3. Pernikahan dapat memelihara kemerosotan akhlak dan moral masyarakat.
4. Pernikahan dapat memelihara masyarakat dari penyakit akibat perilaku penyimpangan dalam seks (seks bebas).
5. Pernikahan dapat menjaga ketentraman rohani dan ketentangan jiwa. Seperti yang dijelaskan dalam surat Ar-Rum ayat 21
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

6. Pernikahan dapat menumbuhkan tanggung jawab bersama suami istri dalam mendidik anak.
7. Pernikahan dapat menumbuhkan rasa kasih sayang sebagai orang tua yang diperlukan untuk membina keturunannya.
Secara normatif, seorang laki-laki yang menikah juga telah berjanji kepada Allah SWT, untuk memperlakukan istrinya dengan baik, menjaga kemuliaan, serta tidak menganiaya. Selain itu, suami dituntut untuk dapat menjalankan kewajibannya secara baik. Kewajiban suami itu berpijak pada kedudukan suami sebagai Qawwamun atau pemimpin.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (An-Nisa’ ; 34).
Jika dirinci, kewajiban suami terhadap istrinya terdiri dari beberapa macam :[3]
Nafkah. Setiap suami wajib memenuhi nafkah bagi keluarganya, sesuai dengan kesanggupannya. Namun, dilarang pula memberikan nafkah secara berlebihan, karena mempunyai dampak yang negatif.
* ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#rä‹è{ ö/ä3tGt^ƒÎ— y‰ZÏã Èe@ä. 7‰Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä† tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(Al-A’raaf ; 31)
Begitu mulia, seorang suami yang dapat memberikan nafkah kepada keluarga. Sampai-sampai Nabi Muhammad menyamakan dengan fisabillillah.
Abu Laits Assamarqandi meriwayatkan dengan sanadnya, dari Ayyub berkata: Ketika sahabat Nabi berada di suatu tempat, tiba-tiba datang kepada mereka seorang pemuda yang tegap dan tangkas. Mereka langsung berkata, alangkah untungnya pemuda itu andaikan menggunakan ketangkasannya dan ketangkasannya untuk jihad fisabillillah. Kata-kat ini terdengar oleh Nabi, maka segera Nabi bersabda :
اومافى سبيل الله الا كل من قاتل او غزا. من سعى على على نفسه ليعفها فهو فى سبيل الله و من سعى على والديه ليعفها فهو فى سبيل الله و من سعى على عياله لبعفهم فهو فى سبيل الله و من سعىمكاثرا فهو فى سبيل الشيطان.
“Apakah tidak ada lain yang di sebut fisabillillah itu kecuali parang jihad. Sedangkan berusaha untuk nafkah yang halal maka itu fisabillilah, dan siapa berusaha untuk membantu kedua orang tuanya maka itu fisabillillah. Dan barang siapa yang belanja untuk anak keluarganya maka itu fisabillillah. Dan siapa yang menimbun kekayaan dan sombong maka itu fisabilis syaithon”[4]
Suami bertugas memelihara dan melindungi keluarga agar tidak terjerumus ke dalam neraka, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ;6 :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”


Suami bertugas menyuruh anggota keluarganya agar selalu mengerjakan sholat. Hal ini senada dengan firman Allah :
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%ø—Í‘ ( ß`øtªU y7è%ã—ötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3“uqø)­G=Ï9 ÇÊÌËÈ
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”(Thaha : 132)


Bersikap dan berkata, dan berpenampilan menyenangkan. Hubungan yang berpijak pada kasih sayang, dibangun berdasarkan saling memberi dan melengkapi satu sama lain. Suami tidak hanya memberi kebutuhan nafkah berupa kebutuhan lahiriah, tetapi juga kebutuhan batiniah. Kebutuhan batiniah dalam hal ini adalah bersikap, berkata, dan penampilan yang sedap dalam pandangan mata istrinya.
$yg•ƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw ‘@Ïts† öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõ‹tGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6•B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«ø‹x© Ÿ@yèøgs†ur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ
19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Kewajiban suami melahirkan hak bagi seorang istri, begitu pula sebaliknya. Kewajiban pokok seorang istri adalah menjadi pendamping utama suami dalam menggayuh bahtera kehidupan.
Adapun kewajiban seorang istri secara rinci adalah sebagai berikut :[5]
1. Istri harus menjaga diri dan taat kepada suami. Hal ini telah ditersirat dalam surat An-Nisa’ ayat 34 :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
2. Seorang istri harus menjaga kesehatan keluarganya dan bertanggung jawab atas pertumbuhan anak-anaknya dengan baik, antara lain dengan menyusuinya secara memadai.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah ; 233)
3. Seorang istri harus tampil bugar dan menjaga kecantikannya agar tetap menarik dalam pandangan suami.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
''Wahai bibi, tolong ceritakan kepadaku bagaimana kalian membina rumah tangga?'' Urwah, kemenakan Aisyah RA melontarkan pertanyaan, saat dia menemani hari-hari Aisyah yang tengah berkabung atas kepergian Rasulullah SAW ke pangkuan Sang Khaliq. Sambil tersenyum getir, Aisyah mencoba mengulang kembali kenangan indah yang paling berkesan saat ia masih menjadi istri baginda Rasul. ''Demi Allah wahai kemenakanku. Sungguh kami pernah melihat bulan sabit berganti di langit sampai tiga kali berturut-turut dalam dua bulan. Selama itu tidak pernah tungku api menyala di seluruh rumah istri Rasulullah SAW.'' Aisyah RA masih tetap tersenyum meski kalimat itu telah terhenti. Mendengarnya, Urwah kaget dan berkata, ''Wahai bibi, bagaimana kalian bisa bertahan hidup bila sedemikian?''
Aisyah lalu menjawab, ''Dengan dua benda hitam; yaitu kurma dan air yang tidak jernih. Namun, terkadang beberapa tetangga Rasulullah SAW dari golongan Anshor yang memiliki domba suka mengirimkan susu kepada kami untuk diminum.''
Itulah kebahagiaan keluarga bumi yang berhati langit. Ketiadaan materi tidak membuat mereka panik, berespons keras atau meminta cerai dari Rasulullah SAW. Benar, episode hidup keluarga ini telah dipertontonkan Allah SWT kepada umat dan kita semua, bahwa pilihan hidup bahagia meski tak berlandaskan materi dapat dijalankan dengan damai.[6]
اقول قول هذااستغفرالله واستغفروه . انه هوالغفور الرحيم .
واستغفرالله لي ولكم واستغفروه . انه هوالغفور الرحيم .
Marilah kita antarkan akad nikah ini, dengan bersama-sama membaca Istighfar 3x, Syahadat 3x
Wassalamu’alaikum
Daftar Pustaka
Yahya Jaya. Spiritualisasi Islam. Ruhama. Jakarta.1993
Anwar Sanusi. Jalan Kebahagiaan. Gema Insani. Jakarta. 2006
Anshari Thayib. Struktur Rumah Tangga Muslim. Risalah Gusti. Surabaya. 1992
Abullaits. Tanbighul Ghofilin (Terjemah : Salim Bahreisy). Bina Ilmu. Surabaya.1992
Imam Mujiono. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. UII Press. Yogyakarta. 1998
Dhurorudin Mashad. Kisah dan Hikmah. Erlangga. Jakarta. 2001


[1] Yahya Jaya. Spiritualisasi Islam. Ruhama. Jakarta.1993. Hal.106
[2] Anwar Sanusi. Jalan Kebahagiaan. Gema Insani. Jakarta. 2006. Hal.190
[3] Anshari Thayib. Struktur Rumah Tangga Muslim. Risalah Gusti. Surabaya. 1992. Hal. 67
[4] Abullaits. Tanbighul Ghofilin (Terjemah : Salim Bahreisy). Bina Ilmu. Surabaya. 1992. Hal.512
[5] Imam Mujiono. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. UII Press. Yogyakarta. 1998. Hal. 116
[6] Dhurorudin Mashad. Kisah dan Hikmah. Erlangga. Jakarta. 2001. Hal 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar