Minggu, 19 April 2009

nilai spritual ibadah haji

Nilai Spiritual Ibadah Haji
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ

Ibadah dalam Islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Allah disembah seperti penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif. Kata ibadah yang berasal dari ‘abada’, sekalipun dapat diterjemahkan dengan me­nyem­bah, namun terjemahan ini dipandang kurang tepat. Karena Tuhan yang disembah itu bukan saja ditakuti dan disegani, tetapi juga dikasihi dan disayangi.
Memang betul dalam surat Al Dzariat ayat 56, terdapat kata liya’ budûni dalam rangkaian ayat وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِ نْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ. , yang berarti “agar mereka beribadat kepada-Ku. Tetapi dalam konsep Islam, Allah adalah Dzat Yang Maha Esa, Maha Kuasa (Wâhid, Qadîr) di samping Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun (Rahmân, Rahîm dan Ghafûr), maka kata liya’budûni lebih cocok diterjemahkan dengan “agar mereka tunduk dan patuh kepada-Ku”.
Maka Allah tidak harus dijauhi dan ditakuti, tetapi Allah harus didekati dan disayangi, karena ia memang dekat dan sayang kepada manusia. Dengan demikian arti ayat tersebut ialah : “Tidak Ku-ciptakan jin dan manusia kecuali untuk tunduk dan patuh kepada-Ku”.
Seorang muslim yang telah menyadari bahwa kelebihan rizki yang ada pada dirinya merupakan amanat Allah untuk didistribusikan secara halal, meskipun dalam pendistribusiannya itu memerlukan uang yang cukup banyak. Salah satunya adalah menggunakannya untuk beribadah haji.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
النفقة في الحج كالنفقة في سبيل الله الدرهم بسبعماءة ضعف
“Pengeluaran ongkos-ongkos untuk berhaji sama seperti pengeluaran ongkos-ongkos fi sabilillah (perang sambil usaha-usaha di jalan Allah) satu dirham dibalas dengan tujuh rarus kali lipat”(H.R.Ahmad)[1].
Dengan penuh kekhusyu’an ia mempersiapkan segalanya, baik mental, fisik, dan spiritual, untuk mengunjungi baitullah disertai tekad untuk mencapai keridlaan Allah dan mencapai derajat Haji Mabrur yang akan membawanya ke surga.
Sabda Rasullullah SAW :
عن أبي صالح السمان، عن أبي هريرة رضي الله عنه:أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَـلَـيْـهِ وَسَـلَّمَ قَـالَ : اَلـْعُـمْرَةُ إِلَـى الْـعُـمْـرَةِ كَـفَّـارَةٌ لِـمَـا بَـيْـنَـهُمَـا, وَلْـحَجُّ الْـمَـبـْرُوْرُ لَـيـْسَ لَـهُ جَـزَاءٌ اِلاَّ الْـجَـنَّـةَ
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : Pelaksanaan umrah hingga umrah yang akan datang adalah penebusan dosa yang ada antara keduanya, dan haji mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga” (HR. Bukhari).[2]
Lebih dari itu, haji mabrur diidentikkan oleh Rasullullah SAW sebagai jihad yang terbaik. Hal ini nampak pada perkataan Aisyah r.a : “saya berkata kepada Rasullullah, kami perlihatkan jihad itu seutama-utamanya amal kebaikan, tidaklah lebih baik kami berjihad?”, Rasul SAW menjawab : ”tetapi seutama-utama juhad adalah haji mabrur.”
Namun, pertanyaan besar yang muncul dalam benak kita adalah : apakah setiap muslim yang berangkat ke tanah suci Mekkah untuk beribadah haji pasti mencapai derajat haji mabrur ? Jawabnya jelas, bahwa setiap manusia akan menerima hasil suatu perbuatan sesuai dengan kualitas usaha yang dilakukannya dalam perbuatan tersebut. Dengan demikian tidak semua muslim yang beribadah haji dipastikan mencapai derajat haji mabrur, bahkan tidak mustahil ada yang tidak mendapatkan pahala ibadah apapun.
Marilah kita simak bagaimana ritual-ritual dalam ibadah haji bisa membawa manusia kepada kesejatiannya dan menanggalkan sifat-sifat hayawiniyah-nya yang merupakan wujud konkrit seorang haji yang mabrur :[3]
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Adalah sebagai lambing manusia harus melepaskan diri dari hawa nafsunya dan hanya menghadapkan diri kepada Allah Yang Maha Agung. Di sini nampak, bahwa titik awal ibadah haji adalah menanggalkan berbagai atribut-atribut duniawi yang membedakan status sosial dan ekonomi serta pengaruh psikologis darinya. Secara vertikal hal ini menunjukkan bahwa setiap muslim haruslah memiliki niat tulus ikhlas tanpa kepura-puraan dalam setiap pengabdiannya kepada Allah, dan secara horisontal mereka dituntut untuk tidak membada-bedakan manusia berdasarkan status sosial, ekonomi, ras, bangsa, dan sebagainya. Maka, seorang haji mabrur adalah mereka yang mampu bermuamalah ma’allâh dengan penuh ketulusan dan kejujuran hati tanpa ada kepalsuan, dan bermu’amalah ma’annâs tanpa mengenal perbedaan status apapun.
Kedua, thawaf yang secara formalistik adalah tindakan mengelilingi Ka’bah, namun secara esensial adalah pernyataan manusia bahwa Allah adalah titik orientasi kepatuhan dan perilaku mereka. Dengan kata lain, thawaf mengajarkan setiap haji agar senantiasa menjadikan Allah sebagai titik orientasi segala perbuatan, baik dalam bentuk ibadah ritual maupuan dalam mu’amalah keseharian serta memunculkan kesadaran bahwa dirinya hanyalah unsur kecil dalam jagad raya yang tunduk dan patuh terhadap ketetapan Allah s.w.t.. Maka, seorang haji mabrur adalah mereka yang senantiasa “menghadirkan” Allah dalam setiap aktivitas mereka sehari-hari. Artinya, dalam setiap perbuatan apapun, seorang haji mabrur menjadikan ajaran-ajaran Allah sebagai tolak ukur dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu perbuatan, serta menanggalkan sifat sombong dan memunculkan sifat tawadhu’.
Ketiga, sa’i secara praktikal adalah berlari-lari kecil antara shafa dan marwa. Adakah nilai yang dapat diambil dari praktek ibadah yang terkesan seperti oleh raga ini ? setidaknya ada dua nilai yang dapat diambil dan diaplikasikan dari sa’i, yaitu : sa’i mengandung nilai sikap kasih sayang manusia terhadap sesama, yang disimbolkan dari bagaimana Hajar istri Nabi Ibrahim yang karena kasih sayangnya kepada anaknya, Isma’il berusaha mencari air guna melepas dahaga anaknya. Sa’i juga mengandung nilai ikhtiar dan tawakal bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia, yang disimbolkan dari sikap Hajar yang tanpa lelah terus berusaha mencari air di tanah yang tandus disertai keyakinan bahwa Allah akan menolongnya. Maka seorang haji mabrur adalah sosok yang penuh dengan kasih sayang terhadap sesama dan selalu menyatukan antara ikhtiar dan tawakal dalam urusan-urusannya.
Keempat, wuquf di Arafah merupakan puncak dari ibadah ibadah haji : al-hajju ‘arafah (haji ialah Arafah). Jika kita perhatikan, tidak banyak aktivitas yang dilakukan para haji di Arafah, mereka hanya duduk berzikir, berdoa, dan membaca bacaan-bacaan yang mampu dilakukan. Namun mengapa intinya haji adalah Arafah ? sebab, di Arafah inilah manusia mengintrospeksi kembali segala sifat, sikap, dan perilaku mereka selama ini. Dengan proses muhasabah di Arafah inilah manusia akan mengidentifikasi berbagai sifat hayawaniyah yang selama ini ada dalam dirinya, memohon ampun kepada Allah karenanya, dan bertekad menanggalkannya. Sungguh kekeliruan besar, jika di Arafah ini seorang haji hanya mengahafal bacaan-bacaan yang diajarkan kepadanya tapi pikiran dan nuraninya sama sekali tidak mengintropeksi perbuatannya. Maka seorang haji mabrur bukan saja individu yang senantiasa berzikir mengingat Allah, tapi juga senantiasa mengintrospeksi sifat, sikap, dan perbuatan hayawaniyah yang telah dilakukan, menanggalkannya, dan kemudian memunculkan perilaku mulia.
Adapun puncak dari pembentukan karakter manusia sejati melalui ibadah haji adalah munculnya sikap solidaritas sosial melalui qurban. Qurban yang secara simbolik adalah penyembelihan hewan, secara esensial adalah pemusnahan individualitas dan egoisme manusia untuk kemudian membangun sifat solidaritas sosial dalam dirinya. Maka, seorang haji mabrur adalah yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi tidak egois dan individualis serta siap mengorbankan apa yang berharga yang dimilikinya kepada sesama.
Diantara rahasia yang terkandung dalam ibadah haji yang telah disebutkan, ibadah haji juga mengandung hikmah yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan ibadah-ibadah lainnya. Diantara hikmah itu dapatlah disebutkan sebagai berikut :[4]
Ibadah haji menambah jiwa tauhid yang tinggi. Berang siapa yang menunaikan ibadah haji dengan niat ikhlas, pasti akan mengalami rasa baru yang menghujam, yang akan menambah keinsyafannya sebagai hamba Allah yang sangat kecil sebagian dari alam yang diciptakanNya, dengan pakaian seragam putih, meniadakan perbedaan yang ada pada tingkatan manusia baik pangkat, maupun keturunan, kecil maupun besar, kaya meupun miskin, ras putih maupun hitam. Semuannya mengalami sebagai makhluk Allah yang tunduk dan taat kepadaNya.
Ibadah haji sebagai tindak lanjut dalam pembinaan sikap dan akhlak yang mulia. Orang yang melakukan ibadah haji adalah orang sedang melatih disiplin diri, karena ia harus melakukan amalan-amalan haji sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Apabila ia meninggalkan fardlu, wajib haji, atau melanggar larangan haji, maka ia harus disiplin pula dalam menjalankan denda (dam).
Ibadah haji merupakan pernyataan umat Islam seluruh dunia menjadi umat yang satu, karena mempunyai persamaan yaitu satu aqidah. Dan berkumpul di tempat yang sama, mempunyai niat yang sama, dan melakukan tindakan-tindakan yang sama. Ini semua disebabkan karena mereka sam-sama makhluk Allah yang mempunyai kewajiban untuk tunduk dan taat kepadaNya.
Ibadah haji merupakan muktamar akbar umat Islam sedunia yang peserta-pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia, dan Ka’balah yang menjadi simbol persatuan dan kesatuan.


Daftar Pustaka

Ali Usman Dkk.Hadits Qudsi.CV.Diponegoro. Bandung.2005
Mastur Fadli.,Muh Iqbal. Mutiara Ibadah.Ladang Pustaka&Intimedia.Jakarta
Muhammad Faiz Almath.1100 hadits Tanya Jawab Terpilih. Gema Insani. Jakarta.1991


[1] Ali Usman Dkk.Hadits Qudsi.CV.Diponegoro. Bandung.2005. Hal 235
[2] Muhammad Faiz Almath.1100 hadits Tanya Jawab Terpilih. Gema Insani. Jakarta.1991.Hal 110
[3] Mastur Fadli.,Muh Iqbal. Mutiara Ibadah.Ladang Pustaka&Intimedia.Jakarta. Hal 126
[4] Ibid. Hal 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar