Minggu, 19 April 2009

meneladani rasul

Meneladani Kesempurnaan Rasullullah

Akal yang sempurna adalah pokok pangkal segala sifat yang terpuji dan pendorong kepada tingkah laku yang terarah dengan petunjuk akal, sehingga dapat membedakan antara yang baik dan buruk, serta membawa seorang mencapai sesuatu yang lebih utama.
Nabi Muhammad SAW adalah orang yang berakal sempurna, berilmu yang luas, betapa tidak bukanlah Allah memberikan kepadanya nikmat dan karunia kenabian dan kerasulan, dan kepadanya Al-Qur’an wahyu Ilahi yang penuh berisi segala ilmu pengetahuan yang tidak mungkin diemban melainkan oleh yang dikarunia Allah sesempurna akal dan fikiran.
Kesempurnaan akal Nabi Muhammad SAW serta pandangannya yang jauh, jelas terlihat dalam sikapnya menghadapi masyarakat sekelilingnya, yang tengah dilanda kemelut jahiliyah dalam semua segi kehidupannya, akal manusia yang telah sesaat itu, tidak mudah dirubah menjadi akal budi yang lurus, benar, dan sehat. Untuk itu memerlukan seorang pimpinan yang berpandangan jauh, berfikiran jernih, dan tidak ragu lagi bahwa ajaran yang ditegakkan oleh beliau itu, bersumberkan wahyu Allah. Akan tetapi ajaran tuhan itu membutuhkan akal fikiran yang cemerlang, dan sudah disiapkan secara khusus bagi yang mengemban tugas berat itu.
Allah telah berfirman dalam surat Saba’ ayat 46 :
* ö@è% !$yJ¯RÎ) Nä3ÝàÏãr& >oy‰ÏmºuqÎ/ ( br& (#qãBqà)s? ¬! 4Óo_÷WtB 3“yŠºtèùur ¢OèO (#r㍤6xÿtGs? 4 $tB /ä3Î6Ïm$ÁÎ/ `ÏiB >p¨ZÅ_ 4 ÷bÎ) uqèd žwÎ) ֍ƒÉ‹tR Nä3©9 tû÷üt/ ô“y‰tƒ 5>#x‹tã 7‰ƒÏ‰x© ÇÍÏÈ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.””
Arti “menghadap kepada Allah” adalah supaya mereka melepaskan diri dari hawa nafsu dan tulus ikhlas mencari hakikat kebenaran.
Allah menggunakan ungkapan “berdua-dua atau sendiri” supaya mereka itu jauh dari pengaruh akal pikiran dan inspirasi komunal, sehingga seseorang mampu berfikir murni bersama temannya dengan tenang, atau dengan dirinya sendiri ketika menyendiri untuk mencari hakikat kebenaran, seolah-olah dirinya itu sebagai teman bicara.[1]
Hadirin Rohimakumullah
Al-Qur’an merupakan kitab suci unik yang memerintahkan manusia untuk melakukan observasi, memikirkan dan merenungkan, sebagaimana halnya Al-Qur’an memerintahkan ibadah dan penyembahan. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an menganggap bahwa berfikir merupakan kewajiban Islam.
Inilah yang diserukan oleh nash-nash Islam, sehingga tak mengherankan jika Imam Al-Ghazaly menganggap “berfikir” sebagai salah satu dari “Sepuluh Penyelamat Besar” dalam kitabnya yang sangat popular “Ihya’ ‘Ulum Al-Din”, yang di dalam kitabnya itu, Imam Al-Ghazaly mengangkat kembali pernyataan generasi salafi yang menyatakan : “Berfikir sesaat itu lebih baik dibandingkan dengan shalat qiyamul lail semalam”. Menurut umat Islam, akal tidaklah bertentangan dengan wahyu, akan tetapi justru menjadi bukti yang menunjukkan kebenaran wahyu. Oleh karena itu, para peneliti dari kalangan ulama Islam menganggap bahwa akal merupakan dasar naql (teks wahyu), sebab kalau bukan karena akal, niscaya kita tidak akan mengenal eksistensi Allah SWT. Kita tidak akan dapat menegakkan dalil yang menunjukkan kebenaran eksistensiNya, bahkan kita juga tidak akan dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan kaum ateis yang sesat, jika tanpa akal.
Akan tetapi akal memiliki bidang (lapangan) tersendiri yang ia tidak boleh melampaui “lapangannya” itu, sebab kalau sampai ia melampauinya, ia akan tersesat di lembah kesesatan. Lapangan akal itu adalah objek makhluk yang begitu banyak dan luas jangkauannya. Adapun dzat Allah , dan segala sesuatu yang berkaitan dengan keagungan dzatNya, maka akal tidak memiliki otoritas terhadapnya[2]
Bukti bahwa Nabi Muhammad mempunyai akal yang sempurna adalah dalam cara pengarahannya kepada pemuda yang datang, meminta izin agar ia diperkenankan melakukan zina atau perbuatan mesum. Lalu Nabi Muhammad bertanya kepadanya, sukakah perbuatan keji itu dilakukan orang terhadap ibumu ? atau terhadap saudara perempuanmu ? atau terhadap putrimu sendiri ? pemuda itu menjawab dengan tegas “Tidak”. “Demikian juga setiap orang tidak menyukai perbuatan itu dilakukan terhadap keluarganya.” Sambung nabi menjelaskan. Maka timbullah kesadaran dan keinsyafan dalam hati pemuda itu, kemudian ia berkata : “Saksikanlah Ya Rasullullah, bahwa aku benar-benar bertaubat dari perbuatan durhaka itu !”
Selain itu, akal fikiran Nabi Muhammad tampak juga mengambil suatu keputusan secara tepat, adil, dan bijaksana. Seperti yang terjadi ketika suku Quraisy terlibat dalam pertentangan dan saling sengketa. Siapakah yang berhak meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula di Ka’bah Baitullah?
Hubairah Bin Waheb menceritakan peristiwa itu sebagai berikut : “Setelah suku Quraisy selesai memugar Ka’bah, maka timbullah perselisihan siapa gerangan yang paling mustahaq mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula? Setiap kabilah dan setiap kelompok sama menginginkannya, karena hal itu dipandang sebagai kehormatan dan kemulyaan yang tiada taranya, sehingga terjadi persahabatan dan perdebatan yang sangat sengit, bahkan suasana sudah sedemikian panasnya, dan mengarah kepada suatu pertumpahan darah dan perang saudara, dengan segala akibatnya yang menyedihkan. Suasana yang kian lama tegang itu, berlangsung empat atau lima hari, kemudian mereka bermusyawarah di masjid Al-Haram, dan bersepakat bulat, memutuskan bahwa : siapa pun yang datang pertama kali dan memasuki masjid itu dialah yang akan diserahi untuk memutus perkara yang pelik itu. Dan semua sama berikrar dan berjanji akan mematuhi keputusan itu. Secara kebetulan Nabi Muhammad lah yang pertama datang dan masuk pintu masjid hari itu, maka semua merasa gembira dan serentak berkata “Tepat sekali, dialah seorang yang jujur (Al-Amin), kita semua akan menerima dan senang hati segala keputusan yang akan diambilnya.”. Maka Nabi Muhammad mengambil sehelai serban yang dibentangkan dan meminta agar tiap kepala kabilah memegang ujung serban yang telah dibentangkan itu, dimana Hahar Aswad telah diletakkan di sana. Kemudian serban itu diangkat bersama-sama. Setelah sampai dekat tempat semula, maka beliau sendiri yang meletakkannya. Dengan keputusan yang adil dan bijaksana itu, maka kemelut yang nyaris membawa petaka iru dapat diselesaikan, memutusakan semua pihak yang berselisih dan diterima dengan perasaan lega”
Seorang muslim yang dibimbing secara benar, ia akan adil dalam menetapkan keputusan. Dia tidak pernah tidak adil dan tidak pernah menyimpang dari kebenaran, apapun keadaannya. Keadilan dan menghindari kezaliman berada dalam jantung keimanan dan akidahnya, dan telah diperintahkan dengan jelas dalam Al-Qur’an :
Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ¼çn£‰ä©r& ( (#qèù÷rr&ur Ÿ@ø‹x6ø9$# tb#u”ÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿw ß#Ïk=s3çR $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr ( #sŒÎ)ur óOçFù=è% (#qä9ωôã$$sù öqs9ur tb%Ÿ2 #sŒ 4’n1öè% ( ωôgyèÎ/ur «!$# (#qèù÷rr& 4 öNà6Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 šcr㍩.x‹s? ÇÊÎËÈ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (Al-An’am; 152)
Keadilan, sebagaimana dikenal oleh umat dan masyarakat Islam, adalah keadilan mutlak dan murni. Ia tidak dipengaruhi oleh perkawanan, kebencian ataupun hubungan darah. Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 8 :
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9ω÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[3]

Kesempurnaan akal Nabi Muhammad SAW juga dapat dilihat dalam keluwesan dan cara pergaulannya dengan masyarakat ramai, dan mudah menyesuaikan diri dengan berbagai macam tingkat dan lapisannya, untuk menarik mereka ke dalam agama yang dibawanya, bahkan beliau dengan ramah tamah dan luwes (supel) menghadapi orang-orang yang dungu dan rendah untuk menyenangkan hati mereka, dan membawanya ke arah yang benar, dengan muka dan sikap yang manis, beliau menghadapi setiap orang walaupun yang durjana dan jahat sekalipun, dan beliau bersabda : “Berlaku luwes terhadap semua manusia itu, adalah shadaqah juga.” (H.RAtthbaraniy)[4]
Keluwesan dalam bergaul adalah terpuji, ia bukan sifat menjilat, keluwesan adalah kepandaian menyesuaikan diri dalam pergaulan bersama demi kepentingan agama, dunia. sedangkan sifat menjilat ialah mengorbankan agama untuk kepentingan duniawi, maka antara keduanya jelas garis perbedaannya.
Kondisi badan yang sehat dan kuat, di samping ketabahan hati, bersatu padu dalam diri Nabi Muhammad SAW, dan itulah sifat kejantanan yang amat sempurna.
Ibnu Sa’ad dan Ibnu Jaarir, demikian juga Ibnu Abi Hatim dan Albaihaghiy serta Abu Nuaim dan Albukhary, kesemuanya meriwayatkan dari Jabir yang mengkisahkan pengalamannya menjelang hari-hari perang Khandaq, yang penuh diliputi oleh suasana ketakutan, Jabir berkata : “kami sedang giat-giatnya menggali parit untuk pertahanan kota Madinah, maka muncullah sebuah batu besar dalam parit yang sedang digali beramai-ramai, kami datang dan melaporkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan beliau segera bangun, lalu turun ke dalam parit, sedang perutnya lapar didikat dengan batu, sebab sudah tiga hari kami tidak merasakan makanan apapun, maka dengan pacul di tangan rasul dipecahkannya batu besar itu, dan dalam sekejap mata manjadi tumpukan tanah yang berserakan, dalam riwayat lain disebutkan, bahwa para sahabat idak datang melaporkan kepada Nabi, melainkan setelah berusaha sekuat tenaga memecah batu yang keras dan besar itu , bahkan sudah banyak linggis dan pacul yang dipergunakan menjadi patahdan rusak, sedang dalam riwayat lain diterangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memukul batu raksasa itu dengan tiga kali pukulan saja, yang mengagumkan bahwa batu besar itu hanya betahan tiga kali saja menghadapi pukulan beliau, setelah tangan para sahabat tak mampu memecahkan atau menyingkirkannya, dan itupun terjadi disaat beliau sedang lapar, kiranya sudah jelas betapa pengaruh lapar terhadap kondisi badan, dan bayangkanlah betapa pula kekuatan beliau itu, andaikata tidak lapar yang sangat, karena selama tiga hari berturut-turut tidak merasakan makanan apapun.[5]
Abu Nuaim dan Albaihaghiy meriwayatkan dari Ishaq bin Yasar, bahwa Rasullullah berkata kepada Rukanah, “silahkanlah Anda masuk Islam”. Rukanah menjawab dengan congkaknya menjawab, “kalau aku mengetahui bahwa agamamu itu benar, tentu sidah lama kumasukinya”. Rukanah yang terkenal sebagai jagoan yang kuat tubuhnya lagi ditakuti itu, ditanya oleh Nabi Muhammad SAW “seandainya kalau aku dapat membanting dan menghempaskan engkau ke tanah?”. “Cobalah” ujar Rukanh dengan bangga, maka Nabi mendorongnya dua kali, dan ia terhempas jatuh ke tanah, kemudian ia mencoba bangkit kembali, sambil berkata : “Ini adalah sihir belaka, demi Allah aku benar-benar tidak dapat menguasai diriku, hingga aku terpelanting jatuh ke tanah”. Hadits ini ada pula yang meriwayatkan dari jalan Rukanah sendiri, yang menegaskan bahwa ia kemudian masuk Islam. Perhatikan pengakuan Rukanah, bahwa ia tidak dapat menguasai dirinya sedikitpun hingga jatuh tersungkur, dan sekaligus berarti bahwa Nabi tidak memegang benda apapun di tangannya, sedangkan Rukanah yang dikenal kuat dan kekar tubuhnya itu lagi sangat ditakuti diantara orang-orang Quraisy, tak pernah dikalahkan.[6]

Pada masa hidupnya, Rasullullah pernah mengalami suatu peristiwa yang membeberkan kesabarannya. Peristiwa itu adalah pembelahan dadanya. Peristiwa ini juga merupakan ujian dari Allah SWT, bahkan peristiwa tersebut terjadi dengan sebenar-benarnya dikala beliau masih kecil, sebagai yatim piatu, dan jauh dari keluarganya.
Abul Hasan Assubukiy berkata : “Kalau sekiranya Allah menjadikan susunan tubuh Nabi Muhamad SAW dalam keadaan seperti yang ditanyakan itu tentu tidak seorang pun akan mengetahui hakikat beliau sebenarnya, Allah melalui malaikat Jibril, hendak memperlihatkan kekuasaannya, untuk membuktikan kesempurnaan batiniyah nabi, seperti yang tampak oleh mereka kesempurnaan lahiriahnya.”
Tentang hikmah berulang kalinya pembedahan dada beliau, maka Ibnu Hajar setelah mengutip kisah pembedahan dada Nabi Muhammad SAW yang pertama, kedua, dan yang ketiga berkata : “Bahwa masing-masing peristiwa itu, mengandung hikmah yang besar, yang pertama pembedahan dada itu terjadi dimasa kecilnya, agar sempurna segala hal ikhwalnya, dan terlindung dari gangguan syetan yang terkutuk, dan yang kedua terjadi menjelang kebangkitannya sebagai rasul, untuk menambah kehormatan baginya dalam rangka tugas sucinya, karena akan menerima apa yang akan diturunkannya kepadanya, membutuhkan keteguhan hati dan kondisi yang sangat bersih dan suci, kemudian yang ketiga ketika akan pergi pada malam Isra’ Mi’raj menuju langit, sebagai persiapan menghadap dan bermunajah dengan Allah Al-Khaliq”[7]

Daftar Pustaka
Yusuf Al-Qardlawi. Jalan Menuju Ma’rifat Islam. Restu Ilahi. Jakarta. 2006
Muhammad Ali Al-Hasyimi. Muslim Ideal. Mitra Pustaka. Yogyakarta. 2000
Alwi Almaliki.Insan Kamil (Terjemah oleh Hasan Baharun). PelitaBahasa. Surabaya.1982

[1] Yusuf Al-Qardlawi. Jalan Menuju Ma’rifat Islam. Restu Ilahi. Jakarta. 2006. Hal.325
[2] Ibid. Hal. 326
[3] Muhammad Ali Al-Hasyimi. Muslim Ideal. Mitra Pustaka. Yogyakarta. 2000. Hal. 384
[4] Alwi Almaliki.Insan Kamil (Terjemah oleh Hasan Baharun).Pelita Bahasa.Surabaya.1982.Hal 43
[5] Ibid.Hal 47
[6] Ibid.Hal 48
[7] Ibid.Hal 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar