Minggu, 19 April 2009

kasih sayang di kehidupan sosial

M.Tamhid Assidiqi
Membudayakan Kasih Sayang di Kehidupan Sosial
(Khutbah Idul Fitri)
Kasih sayang merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan rasa kedamaian dan dapat memupuk Ukhuwah Islamiah di masyarakat kita. Salah satu bentuk kasih sayang dapat kita wujudkan dengan silaturrahmi, yang akan saya paparkan pada kesempatan ini.
Silaturrahmi berasal dari kata Silah dan Rahmi.
Silah adalah sebuah perkataan dari bahasa arab صلة yang artinya hubungan. Rahmi atau rahim ialah ruhum, artinya tempat anak atau asal kejadian manusia dalam perut ibunya. Selain itu, kata ruhum itu juga berarti kasih sayang atau rahmat merahmati antara sesama manusia. Sebab kata ruhum itu serumpun dengan kata rahmat. Inilah keunikan Bahasa Arab. Satu kata saja, sudah dapat menjelaskan definisinya sendiri tanpa bantuan kata-kata lain. Dengan demikian Shilaturrahmi atau Shilaturrahim secara bahasa adalah menjalin hubungan kasih sayang dengan saudara dan kerabat yang masih ada hubungan darah (senasab). Seseorang tidak dapat dikatakan menjalin hubungan silaturrahmi bila ia berkasih sayang dengan orang lain sementara saudara dan kerabatnya dia jadikan musuh.
Karena kata rahimi berarti juga rahmat yang artinya kasih sayang dan kecintaan, maka silaturrahmi amat berat dilaksanakan tanpa rasa kecintaan dan kasih sayang antara kedua belah pihak. Apalagi terhadap sahabat orang tua kita, atau pada kaum muslimin pada umumnya. Menurut istilah agama Islam, arti silaturrahmi adalah:
ايصال ما امكن من الخير ودفع ما امكن من الشر
Menyampaikan atau menyambung sedapat mungkin Sesuatu dari pada kebaikan, dan menolak atau menghindarkan dengan sedapat mungkin sesuatu daripada kebinasaan.
Pada umumnya orang mengatakan bahwa menghubungkan silaturrahmi itu hanya sekedar saling berkunjung satu sama lain. Dalam istilah Jawa Timur adalah sambang. Jadi silaturrahmi hanya diidentikkan dengan mengunjungi atau datang bertamu. Padahal sebenarnya tidak hanya itu saja. Saling mengunjungi adalah salah satu dari cara orang untuk bersilaturrahmi. Cara tersebut adalah seringan-ringan cara untuk bersilaturrahmi.
Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy di dalam “Al-Islam”, menjelaskan tentang bagaimana cara menyantuni kerabat dalam rangka melaksanakan silaturrahmi. Walaupun cara ini dilaksanakan dalam kerabat, tetapi cara yang dilaksanakan kepada kaum muslimin dan sesama manusia bisa diterapkan dan disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhannya.
Dijelaskan, bahwa cara untuk bersilaturrahmi adalah dengan delapan macam perkara, yakni :
1. Membantu dalam kebutuhan harta, menolong keperluan hidupnya menurut kadar kemampuan yang ada pada si penolong.
Nabi Muhammad memilih tamsil atau perumpamaan dari dua tangan. Lantaran sepasang tangan itu saling membantu dalam mencapai suatu tujuan tunggal. Begitu halnya dengan dua orang saudara. Persaudaraan mereka hanya lengkap dan sempurna manakala bersahabat dan bersaudara dalam suatu upaya dan usaha bersama. Dalam arti, keduanya itu laksana dua orang. Yang demikian ini mengharuskan adanya partisipasi bersama dalam suka maupun duka.
           
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy-Syuura : 38)
2. Membantu dengan tenaga yang dibutuhkan, seperti membantu apabila ada salah satu kerabat yang mempunyai hajat, memperbaiki rumah, dsb. Tanpa menunggu diminta lebih dulu, serta mengutamakan kebutuhan-kebutuhan mereka atas kebutuhan sendiri.
3. Membantunya dengan lidah, yakni janganlah disebut-sebut keburukannya, tetapi apabila perlu, sebut saja kebaikan-kebaikannya dan juga memelihara segala rahasianya. Ikut membantu menyumbangkan buah pikiran yang sekiranya dapat meringankan beban yang ditanggungnya, dan beramar ma’ruf nahi mungkar.
Yang juga lebih kuat dalam menarik kasih sayang adalah membelanya dalam ketidakhadirannya. Ketika dia dihina, atau kehormatannya diragukan, secara terang-terangan atau tidak langsung. Rasullullah membandingkan dua orang bersaudara dengan sepasang tangan. Tangan yang satu mencuci tangan yang lain.
Sungguh merupakan suatu pengkhianatan, meninggalkan kehormatan dirinya dikoyak-koyak. Ini seperti halnya meninggalkan dirinya dalam keadaan daging tubuhnya dicabik-cabik. Betapa jahatnya seorang asudara melihat dirimu diperlakukan secara buas oleh seekor anjing, yang mencabik-cabik tubuhmu, namun tetap diam dan tidak bergerak sedikit pun oleh rasa kasihan serta semangat untuk membelamu. Kehormatan yang dicabik-cabik terasa lebih sakit dalam jiwa ketimbang daging tubuh yang dikoyak-koyak. Allah SWT membandingkannya sama dengan memakan daging bangkai, yang tertera dalam surat Al-Hujuraat ayat 12:
                            •   •    
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

4. Menanyakan segala keadaannya, dan menanyakan ikut bersedih hati bila kerabatnya mendapat kesusahan, serta menyatakan ikut bergembira bila kerabatnya mendapat kebahagiaan.
5. Memafkan kesalahan-kesalahannya bila bersalah atau terlanjur berbuat salah.
Kesalahan seorang sahabat pastilah berupa salah satu dari dua jenis ini, entah dalam agamanya, karena perbuatan dosa, atau dalam kewajibannya kepadamu, karena kelalaian dalam persaudaraan.
6. Berdoa kepada Allah untuk kebaikan kerabatnya dikala hidup dan setelah wafatnya kerabat itu.
7. Menepati janji dan berlaku ikhlas serta tetap bersikap lemah lembut dan damai terhadapnya. Dan bila kerabat yang diperlukan demikian itu meninggal dunia, maka hendaknya hal itu dilanjutkan kepada anak keturunannya.
8. Tiada memberatkan beban kerabatnya, misalnya meminta kita meminta pertolongannya, atau ikut menumpang di rumahnya yang tentu saja menyebabkan menambah beban hidupnya. Maka termasuk tidak memberatkan beban hidup kerabat itu ialah apabila kita ikut memikul sebagian beban yang ditanggung kerabat kita itu.
Perintah atau dasar-dasar menghubungkan kerabat.
                                                           
19. Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,
20. (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian (menunaikan segala perintah Allah)
21. Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (menghubungkan silaturrahmi), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
22. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)

Allah mengancam orang yang memutuskan silaturrahmi atau orang yang memutuskan silaturrahmi kerabat, dengan siksa yang amat pedih. Mereka yang memutuskan silaturrahmi mendapat laknat dari Allah dan tidak masuk surga. Tentang dosanya dan larangannya untuk memutuskan silaturrahmi telah banyak dijelaskan dalam ayat Ar-Ra’d ayat 25
                        
25. Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).

Terkait dengan membantu keperluan kerabat, menciptakan kasih sayang dan tali persaudaraan. Ada sebuah kisah yang bisa kita jadikan pelajaran yang nantinya dapat membawa dampak positif terhadap diri kita maupun orang lain.
Kisah tersebut diriwayatkan dari Zaid Bin Salam, dia berkata, “Saya diberitahu oleh Abdullah Al-Hawazni, yaitu Abu Amir. Dia berkata, “ Saya bertemu dengan Bilal, Muadzin Rasullullah. Lalu saya meminta kepadanya,”Wahai Bilal, beritahukanlah saya, begaimana Rasullullah memberi nafkah?”. Bilal memnjawab,”Rasullullah itu tidak memiliki sesuatu kecuali sayalah yang memberinya semenjak Allah mengangkat beliau menjadi seorang Rasul.”
Pada suatu hari ada seorang dari kalangan kaum musyrikin menawarkan diri kepadaku dan berkata, “Wahai Bilal, sesungguhnya aku bisa memberimu pinjaman. Karena itulah, jangan pernah meminjam kepada orang lain selain kepadaku.”. maka saya lakukan apa yang ia minta.
Pada suatu hari, saya berwudlu dan bergegas untuk mengumandangkan adzan, sementara orang musyrik tadi berdiri di kerumunan pedagang. Tetkala melihatku, ia berkata,”Wahai orang Habsyi”, saya menjawab,”Ya, ada apa?”. Dia balik berkata,”Pada saat ini, saya mengambil hakku yang ada padamu. Karena sesungguhnya saya tidak memberikan kamu sesuatu dikarenakan kemuliaanmu atau kemuliaan sahabatmu. Akan tetapi saya, memberikan itu semua supaya kamu menjadi hambaku, sehingga saya akan menugaskan kamu untuk menernakkan kambing sebagaimana yang kamu lakukan sebelumnya.”
Lantas ia memperlakukan saya sama seperti yang ia lakukan kepada orang lain. Lalu saya mengumandangkan adzan sholat. Tetkala saya shalat agak malam dan Nabi kembali ke rumahnya, saya minta kepada beliau untuk masuk. Setelah diizinkan, saya berkata,”Wahai Rasullullah, demi bapak dan ibuku, aku rela menjadi penebusnya, sesungguhnya orang musyrik yang ceritakan kepada engkau, menjadikan saya jaminan dari pinjaman yang diberikannya. Dia berkata begini dan begitu. Sementara engkau dan aku tidak memiliki sesuatu yang bias membebaskan saya darinya, karena dia sangat tidak beradab. Oleh karena itu, izinkanlah saya untuk mendatangi beberapa orang Islam untuk mencari pinjaman sampai Allah menganugrahkan rezeki kepada Rasulnya untuk menebus saya.”
Kemudian saya pulang. Setelah itu, saya berkeliling membawa pedang, panah, dan sandal. Saya terus menelusuri jalan-jalan. Tetkala saya tidur, saya terkejut. Tetkala malam tiba, saya tidur sampai tiba waktu subuh. Pada saat saya mau berangkat, ada orang memanggil, “Wahai Bilal, kamu dipanggil Rasullullah”
Lalu saya bergegas menuju rumah Rasullulah. Ternyata beliau memiliki empat ekor unta tunggangan yang penuh dengan barang bawaan. Lantas beliau berkata kepada saya,
“Aku beritahukan kepadamu, sesungguhnya Allah telah memberikan segalanya untuk membebaskanmu” maka saya bersyukur kepada Allah.
Beliau berkata kembali,”maukah kamu membawa empat unta tersebut?”. Saya menjawab “tentu saja”
Beliau berkata kembali, “Kamu berhak atas binatang tersebut, dengan segala barang bawaannya. Sekarang pergilah dan bayar hutangmu”
Dengan demikian maka silaturrahmi bukan hanya menghubungkan yang aslanya telah terputus, tetapi menjaga dan memelihara agar hubungan kekeluargaan antara sanak keluarga, dan antara sanak famili, atau antara sesama muslim dan antara kita dengan dengan para sahabat kedua orang tua kita yang telah meninggal dunia janganlah sampai terputus.
Apabila manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan. Maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan. Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli.
Dan jangan sampai kita memutuskan tali silaturrahmi hanya karena gara-gara pekerjaan dan jabatan. Silaturrahmi lebih tinggi nilainya dari itu semua. Allah berfirman dalam surat Muhammad ayat 22:
          
“Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?”
Adapun manfaat hubungan silaturrahmi sangatlah besar. Sebab. Ia dapat menjadi pendorong seseorang berbudi mulia, menciptakan kerukunan, dan perdamaian yang diharapkan oleh Allah dari hasil taqwa.
Allah SWT berfirman :
         •            
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul[593], oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."(Al-Anfal : 1)

Bila silaturrahmi telah diamalkan oleh kaum muslimin dengan baik dan sesuai dengan arti istilah silaturrahmi sebagaimana yang telah dicantumkan di atas itu, maka alangkah indahnya dunia atau masyarakat ini. Dan mereka hidup dengan rasa yang sejuk, akrab, damai, aman, dan usaha tolong menolong satu sama lain, saling membantu dengan hati yang bersih, ikhlas dan rukun. Insya Allah, mengurus pekerjaan atau segala keperluan apa saja, dan semua urusan akan berjalan dengan lancar dan mudah, berkat silaturrahmi.
Bila semua pekerjaan menjadi lancar dan mudah, maka umur tak akan sia-sia, usia atau umur pun dapat dipergunakan dengan sesuatu yang bermanfaat, dan selama waktu hidupnya dapat dimanfaatkan dengan sesuatu amal perbuatan yang berguna. Hakikat umur panjang adalah bagi mereka yang banyak amal perbuatan yang baik, yakni mereka yang memanfaatkan umurnya dengan baik. Walaupun umurnya seratus tahun tapi dilalui dengan kemaksiatan dan perbuatan yang sia-sia, itu namanya pendek umurnya. Sebaiknya walaupun umurnya tidak panjang, tetapi dipergunakan dengan kemanfaatan yakni amal saleh dan ketaqwaan, itu namanya umur panjang.

Daftar Pustaka
Umar Hasyim. Anak Shaleh. Bina Ilmu. Surabaya. 1995
Imam Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum Al-Din (Terjemah : Nasrullah). Mizan. Bandung. 1994
Fadlil Said. Bekal Berharga Untuk Menjadi Anak Muli. Al-Hidayah. Tt.
Ibnul Jauzi.Al-Wafa (Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad).Pustaka Al-Kautsar. 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar